Kisah pelik dan ajaib yang berlaku semasa kejadian tsunami melanda Indonesia.
Pada tarikh ini, 26 Disember 2004, Aceh dilanda gempa bumi besar, diikuti oleh bencana tsunami yang menyebabkan beratus ribu nyawa melayang dan meninggalkan kesan yang berpanjangan.
Sejak itu, Aceh telah menjadi tempat yang diibaratkan sebagai ‘seperti padang tanpa pengusir burung.’ Kini, sudah 12 tahun berlalu sejak peristiwa itu, tetapi kisah-kisahnya masih terus kita bisikkan hingga hari ini, merakam pelbagai cerita kegembiraan dan kesedihan, tanpa mengabaikan cerita-cerita aneh dan ajaib. Antara cerita-cerita menakjubkan tentang kisah hidup adalah termasuk pengalaman seorang wanita tua yang diselamatkan oleh seekor ular.
Merujuk kepada laporan Liputan6.com, ianya menceritakan tentang pagi 26 Disember 2004 lalu, di mana Umi Kalsum, 58, sibuk menanam bunga di halaman rumahnya di Kampung Alu Naga, Kabupaten Aceh Besar. “Tiba-tiba, bumi bergoyang; sebentar selepas gempa, orang-orang berlari-larian dengan teriakan bahawa air laut sedang naik.
“Umi juga berlari, namun tiba-tiba Umi merasakan air menerpa badannya, dan dia terus kehilangan kesedaran akibat arus tsunami yang kuat,” katanya dalam bahasa Aceh.
Dia sedar semula ketika terjebak di sebuah jambatan, jambatan Kajhu, di mana dia mengalami satu keajaiban – seekor ular bersamanya. “Subhanallah, mulut ular itu berada di hadapannya, melingkari tubuhnya,” katanya. Awalnya, dia menganggap ular itu hanya sebatang pohon pisang. “Warnanya berjalur. Ketika kami sampai di jambatan, saya sudah sedar, dan ketika melihat kepala ular itu, saya hanya berkata, selamatkan saya ke daratan,” kenangnya lagi.

Dia menggambarkan ular itu sebesar tiang elektrik, dan ‘melepaskannya’ setelah sampai di daratan kering. “Ular itu menarik tubuh saya dari lingkaran-lingkarannya; tiba-tiba ular itu melepaskan saya dengan meluruskan tubuhnya dan pergi ke mana-mana,” kata Umi.
Kisah kedua melibatkan Martunis, yang dikenali sebagai kanak-kanak ajaib. Pagi itu, Martunis sedang bermain bola sepak di belakang rumahnya, menikmati waktu bermain ketika gempa bumi yang kuat dengan skala Richter 9.1 menghentikannya dari keseronokan bermain bola sepak.
“Selepas itu, saya dibawa arus sehingga pengsan, saya sedar kembali selepas tersangkut di pohon bakau di kawasan Deah Raya, Kecamatan Syiah Kuala.
“Semuanya rata, saya tidak tahu di mana letak kampung saya, yang terlihat hanyalah mayat-mayat berselerak,” kenang Martunis. Martunis bertahan selama 21 hari di atas pohon itu, ‘ditemani’ oleh mayat-mayat di sekitarnya.
“Untuk bertahan hidup, saya mengumpulkan makanan dan air mineral yang terseret oleh gelombang tsunami,” katanya. Pada hari ke-21, dua lelaki yang mencari keluarganya di kawasan tersebut menemui Martunis. Martunis kemudian diserahkan kepada wartawan Sky News yang sedang meliput bencana tsunami di kawasan Deah Raya.
Kisah ketiga menceritakan bagaimana saudara Noni Delfina (kakak) dan Nina Delfina selamat setelah meninggalkan rumah mereka tepat sebelum tsunami melanda.
“Kami keluar dari rumah bersama, tapi kami terpisah saat aku (Nina) menumpang sepeda motor turun ke jalan, sementara Noni memilih pergi dengan sepeda biasanya,” kata Nina. Tiba-tiba gelombang tsunami datang menghantam kami, saya (Nina) terbawa ke sebuah bangunan.
“Saya berdoa dan terus berenang ke daerah berbukit, alhamdulillah saya akhirnya selamat,” kata Nina yang tidak menceritakan bagaimana adiknya Noni selamat.
Sementara itu, kisah keempat menceritakan bagaimana Fanisa Rizkiam, setelah menghilang selama 10 tahun, akhirnya ditemukan. Fanisa selamat dari tsunami ketika kejadian itu terjadi; dia hanya berumur lima tahun pada saat itu. Akibat bencana itu, dia terpisah dari orang tuanya dan keluarganya.
Tidak dapat mengingat pengalamannya, Fanisa kemudian tinggal dan bekerja di Malaysia. Kehadiran Fanisa diketahui setelah Pemerintah Aceh mendapatkan informasi dari Departemen Ketenagakerjaan Indonesia di Malaysia bahwa ada seorang anak di bawah umur dari Aceh yang bekerja di Malaysia.
“Setelah diperiksa, ternyata Fanisa adalah anak korban tsunami,” kata Bukhari, Kepala Dinas Sosial Aceh, ketika Fanisa dan keluarganya tiba di Bandara Sultan Iskandar Muda, Blang Bintang, Aceh Besar, Jumat lalu.
Kisah terakhir menceritakan bagaimana sebuah kubah masjid yang terbawa tsunami berhasil menjadi kapal penyelamat. Kubah yang kini dikenal sebagai Masjid al-Tsunami awalnya merupakan bagian dari Masjid Jamik di Desa Lamteungoh, Peukan Bada, Aceh Besar.
Ketika gelombang tsunami ‘menyerbu’ Aceh pada 2004, seluruh bangunan masjid hancur dan hanya menyisakan kubah masjid berdiameter 4×4 meter. Kubah itu terbawa arus gelombang selama lima kilometer dan terdampar di Desa Gurah.
Sepanjang perjalanan, kubah itu menjadi tempat bertahan bagi korban tsunami, dengan banyak yang dilaporkan selamat setelah mereka berhasil berpegangan padanya.
Ketika kubah itu ditemukan setelah tsunami, penduduk menemukan beberapa kitab suci al-Quran yang melekat padanya. Buku-buku suci yang terendam air itu kini telah dihancurkan dan disimpan dalam sebuah botol kaca khusus.